Kupersembahkan bersama jiwa, cita,cinta dan harapan.ILOVE YOU FULL...
Photobucket
Photobucket

Cari Blog Ini

Jumat, 05 November 2010

8 ETOS PENYEMANGAT KERJA

Hidup hanya menyediakan dua pilihan: mencintai pekerjaan atau mengeluh
setiap hari. Jika tidak bisa mencintai pekerjaan, maka kita hanya akan
memperoleh "5-ng": ngeluh, ngedumel, ngegosip, ngomel, dan ngeyel.

Punya masalah dengan semangat kerja? Jangan gundah gulana, Anda tidak
sendirian. Banyak orang lain yang punya problem serupa. Namun, bukan
tidak ada solusinya!

Hidup hanya menyediakan dua pilihan: mencintai pekerjaan atau mengeluh
setiap hari. Jika tidak bisa mencintai pekerjaan, maka kita hanya akan
memperoleh "5-ng": ngeluh, ngedumel, ngegosip, ngomel, dan ngeyel.

Punya masalah dengan semangat kerja? Jangan gundah gulana, Anda tidak
sendirian. Banyak orang lain yang punya problem serupa. Namun, bukan
tidak ada solusinya!

Hampir semua orang pernah mengalami gairah kerjanya melorot. "Itu
lumrah," kata Jansen Sinamo, ahli pengembangan sumber daya manusia dari
Institut Darma Mahardika, Jakarta. Meski lumrah, "impotensi" kerja harus
diobati.

Cara terbaik untuk mengatasinya, menurut Jansen, dengan langsung
membenahi pangkal masalahnya, yaitu motivasi kerja. Itulah akar yang
membentuk etos kerja. Secara sistematis, Jansen memetakan motivasi kerja
dalam konsep yang ia sebut sebagai "Delapan Etos Kerja Profesional" .
Sejak 1999, ia aktif mengampanyekan gagasan itu lewat berbagai pelatihan
yang ia lakukan.

/* Memahat yang tak terlihat*/

*Etos pertama: kerja adalah rahmat.*

Apa pun pekerjaan kita, entah pengusaha, pegawai kantor, sampai buruh
kasar sekalipun, adalah rahmat dari Tuhan. Anugerah itu kita terima
tanpa syarat, seperti halnya menghirup oksigen dan udara tanpa biaya
sepeser pun.

Bakat dan kecerdasan yang memungkinkan kita bekerja adalah anugerah.
Dengan bekerja, setiap tanggal muda kita menerima gaji untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan bekerja kita punya banyak teman dan
kenalan, punya kesempatan untuk menambah ilmu dan wawasan, dan masih
banyak lagi. Semua itu anugerah yang patut disyukuri. Sungguh kelewatan
jika kita merespons semua nikmat itu dengan bekerja ogah-ogahan.

*Etos kedua: kerja adalah amanah.*

Apa pun pekerjaan kita, pramuniaga, pegawai negeri, atau anggota DPR,
semua adalah amanah. Pramuniaga mendapatkan amanah dari pemilik toko.
Pegawai negeri menerima amanah dari negara. Anggota DPR menerima amanah
dari rakyat. Etos ini membuat kita bisa bekerja sepenuh hati dan
menjauhi tindakan tercela, misalnya korupsi dalam berbagai bentuknya.

Etos ketiga: kerja adaah panggilan.

Apa pun profesi kita, perawat, guru, penulis, semua adalah darma.
Seperti darma Yudistira untuk membela kaum Pandawa. Seorang perawat
memanggul darma untuk membantu orang sakit. Seorang guru memikul darma
untuk menyebarkan ilmu kepada para muridnya. Seorang penulis menyandang
darma untuk menyebarkan informasi tentang kebenaran kepada masyarakat.
Jika pekerjaan atau profesi disadari sebagai panggilan, kita bisa
berucap pada diri sendiri, "I'm doing my best!" Dengan begitu kita tidak
akan merasa puas jika hasil karya kita kurang baik mutunya.

*Etos keempat: kerja adalah aktualisasi. *

Apa pun pekerjaan kita, eutah dokter, akuntan, ahli hukum, semuanya
bentuk aktualisasi diri. Meski kadang membuat kita lelah, bekerja tetap
merupakan cara terbaik untuk mengembangkan potensi diri dan membuat kita
merasa "ada". Bagaimanapun sibuk bekerja jauh lebih menyenangkan
daripada duduk bengong tanpa pekenjaan.

Secara alami, aktualisasi diri itu bagian dari kebutuhan psikososial
manusia. Dengan bekerja, misalnya, seseorang bisa berjabat tangan dengan
rasa pede ketika berjumpa koleganya. "Perkenalkan, nama saya Miftah,
dari Bank Kemilau." Keren 'kan?

*Etos kelima: kerja itu ibadah.*

Tak peduli apa pun agama atau kepercayaan kita, semua pekerjaan yang
halal merupakan ibadah. Kesadaran ini pada gilirannya akan membuat kita
bisa bekerja secara ikhlas, bukan demi mencari uang atau jabatan semata.
Jansen mengutip sebuah kisah zaman Yunani kuno seperti ini:

Seorang pemahat tiang menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengukir
sebuah puncak tiang yang tinggi. Saking tingginya, ukiran itu tak dapat
dilihat langsung oleh orang yang berdiri di samping tiang. Orang-orang
pun bertanya, buat apa bersusah payah membuat ukiran indah di tempat
yang tak terlihat? Ia menjawab, "Manusia memang tak

bisa menikmatinya. Tapi Tuhan bisa melihatnya." Motivasi kerjanya telah
berubah menjadi motivasi transendental.

/*Warisan tak ternilai*/

*Etos keenam: kerja adalah seni.*

Apa pun pekerjaan kita, bahkan seorang peneliti pun, semua adalah seni.
Kesadaran ini akan membuat kita bekerja dengan enjoy seperti halnya
melakukan hobi. Jansen mencontohkan Edward V Appleton, seorang fisikawan
peraih nobel. Dia mengaku, rahasia keberhasilannya meraih penghargaan
sains paling begengsi itu adalah karena dia bisa menikmati pekerjaannya.

"Antusiasmelah yang membuat saya mampu bekerja berbulan-bulan di
laboratorium yang sepi," katanya. Jadi, sekali lagi, semua kerja adalah
seni. Bahkan ilmuwan seserius Einstein pun menyebut rumus-rumus fisika
yang njelimet itu dengan kata sifat beautiful.

*Etos ketujuh: kerja adalah kehormatan.*

Seremeh apa pun pekerjaan kita, itu adalah sebuah kehormatan. Jika bisa
menjaga kehormatan dengan baik, maka kehormatan lain yang lebih besar
akan datang kepada kita.

Jansen mengambil contoh etos kerja Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan
Indonesia kawakan ini tetap bekerja (menulis), meskipun ia dikucilkan di
Pulau Buru yang serba terbatas. Baginya, menulis merupakan sebuah
kehormatan. Hasilnya, kita sudah mafhum. Semua novelnya menjadi karya
sastra kelas dunia.

*Etos kedelapan: kerja adalah pelayanan.*

Apa pun pekerjaan kita, pedagang, polisi, bahkan penjaga mercu suar,
semuanya bisa dimaknai sebagai pengabdian kepada sesama.

Pada pertengahan abad ke-20 di Prancis, hidup seorang lelaki tua
sebatang kara karena ditinggal mati oleh istri dan anaknya. Bagi
kebanyakan orang, kehidupan seperti yang ia alami mungkin hanya berarti
menunggu kematian. Namun bagi dia, tidak. Ia pergi ke lembah Cavennen,
sebuah daerah yang sepi. Sambil menggembalakan domba, ia memunguti biji
oak, lalu menanamnya di sepanjang lembah itu. Tak ada yang membayarnya.
Tak ada yang memujinya. Ketika meninggal dalam usia 89 tahun, ia telah
meninggalkan sebuah warisan luar biasa, hutan sepanjang 11 km!
Sungai-sungai mengalir lagi. Tanah yang semula tandus menjadi subur.
Semua itu dinikmati oleh orang yang sama sekali tidak ia kenal.

Di Indonesia semangat kerja serupa bisa kita jumpai pada Mak Eroh yang
membelah bukit untuk mengalirkan air ke sawah-sawah di desanya di
Tasikmalaya, Jawa Barat. Juga pada diri almarhum Munir, aktivis Kontras
yang giat membela kepentingan orang-orang yang teraniaya.

"Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan dilengkapi keinginan
untuk berbuat baik," kata Jansen. Dalam bukunya Ethos21, ia menyebut
dengan istilah rahmatan lii alamin (rahmat bagi sesama).

/*Pilih cinta atau kecewa*/

* Menurut Jansen, kedelapan etos kerja yang ia gagas itu bersumber
pada kecerdasan emosional spiritual. Ia menjamin, semua konsep etos itu
bisa diterapkan di semua pekerjaan.

"Asalkan pekerjaan yang halal," katanya. "Umumnya, orang bekerja itu
'kan hanya untuk nyari gaji. Padahal pekerjaan itu punya banyak sisi,"
katanya.

Kerja bukan hanya untuk mencari makan, tetapi juga mencari makna.
Rata-rata kita menghabiskan waktu 30 - 40 tahun untuk bekerja. Setelah
itu pensiun, lalu manula, dan pulang ke haribaan Tuhan. "Manusia itu
makhluk pencari makna. Kita harus berpikir, untuk apa menghabiskan waktu
40 tahun bekerja. Itu 'kan waktu yang sangat lama," tambahnya.

Ada dua aturan sederhana supaya kita bisa antusias pada pekerjaan.
Pertama, mencari pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat. Dengan
begitu, bekerja akan terasa sebagai kegiatan yang menyenangkan.

Jika aturan pertama tidak bisa kita dapatkan, gunakan aturan kedua: kita
harus belajar mencintai pekerjaan. Kadang kita belum bisa mencintai
pekerjaan karena belum mendalaminya dengan benar. "Kita harus belajar
mencintai yang kita punyai dengan segala kekurangannya, " kata sarjana
Fisika ITB yang lebih suka dengan dunia pelatihan sumber daya manusia ini.

Hidup hanya menyediakan dua pilihan: mencintai pekerjaan atau mengeluh
setiap hari. Jika tidak bisa mencintai pekerjaan, maka kita hanya akan
memperoleh "5-ng": ngeluh, ngedumel, ngegosip, ngomel, dan ngeyel.
Jansen mengutip filsuf Jerman, Johann Wolfgang von Goethe, "It's not
doing the thing we like, but liking the thing we have to do that makes
life happy."

"Dalam hidup, kadang kita memang harus melakukan banyak hal yang tidak
kita sukai. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Tidak mungkin kita mau
enaknya saja. Kalau suka makan ikan, kita harus mau ketemu duri," ujar
pria yang kerap disebut sebagai Guru Etos ini.

Dalam dunia kerja, duri bisa tampil dalam berbagai macam bentuk. Gaji
yang kecil, teman kerja yang tidak menyenangkan, atasan yang kurang
empatik, dan masih banyak lagi. Namun, justru dari sini kita akan
ditempa untuk menjadi lebih berdaya tahan.

/*Bukan gila kerja*/

* Dalam urusan etos kerja, bangsa Indonesia sejak dulu dikenal
memiliki etos kerja yang kurang baik.

Di jaman kolonial, orang-orang Belanda sampai menyebut kita dengan
sebutan yang mengejek, in lander pemalas. Ini berbeda dengan, misalnya,
etos Samurai yang dimiliki bangsa Jepang. Mereka terkenal sebagai bangsa
pekerja keras dan ulet.

Namun, Jansen menegaskan, pekerja keras sama sekali berbeda dengan
workaholic. Pekerja keras bisa membatasi diri, dan tahu kapan saatnya
menyediakan waktu untuk urusan di luar kerja. Sementara seorang
workaholic tidak. Dalam pandangan Jansen, kondisi kerja yang
menyenangkan adalah kerja bareng semua pihak. Bukan hanya bawahan, tapi
juga atasan.

Sering seorang atasan mengharapkan bawahannya bekerja keras, sementara
ia sendiri secara tidak sengaja melakukan sesuatu yang melunturkan
semangat kerja bawahan. Jansen memberi contoh, atasan yang mengritik
melulu jika bawahan berbuat keliru, tapi tak pernah memujinya jika ia
menunjukkan prestasi.

Secara manusiawi hal itu akan menyebabkan bawahan kehilangan semangat
bekerja. Buat apa bekerja keras, toh hasil kerjanya tak akan dihargai.
Ingat, pada dasarnya manusia menyukai reward.

Konosuke Matsushita, pendiri perusahaan Matsushita Electric Industrial
(MET) punya teladan yang bagus. Pada zaman resesi dunia tahun 1929-an,
pertumbuhan ekonomi Jepang anjiok tajam. Banyak perusahaan mem-PHK
karyawan. MEI pun terpaksa memangkas produksi hingga separuhnya. Namun,
Matsushita menjamin tak ada satu karyawan pun yang bakal terkena PHK.

Sebagai gantinya, ia mengajak semua karyawan bekerja keras.
Karyawan-karyawan bagian produksi dilatih untuk menjual. Hasilnya
benar-benar ruarrr biasa. Mereka bisa berubah menjadi tenaga marketing
andal, yang membuat Matsushita menjadi salah satu perusahaan terkuat di
Jepang



Sumber: fitriegaleri